October 20, 2019

Kaleidoskop Tontonan September-Oktober 2019

Seharusnya review-review ini gue buat di IG  story untuk memenuhi highlight tontonan gue. Tapi, berhubung gue anaknya pemalas banget, jadilah IG story-nya ngga dibikin-bikin 😁

Nah, mumpung sekarang gue lagi jadi penggiat rebahan yang profesional alias pengangguran sekalian aja deh gue bikinin blog post. Lumayan juga nambah-nambahin tulisan gue di blog ini biar ngga sepi-sepi amat.

So, here it isi! Kaleidoskop tontonan gue selama September-Oktober 2019. Ditulis berdasarkan yang paling diinget aja. Semoga membantu! ✌😉

Perempuan Tanah Jahanam (rating: 8/10)



Jarang-jarang nih gue nonton film Indonesia di hari pertama rilisnya. Bahkan kayanya baru film ini doang deh. Iya, gue emang penasaran banget sama ini film (secara ini film Joko Anwar juga ya kan) dan kebetulan ada yang nemenin juga trus ada promo buy 1 get 1 free juga untuk tiketnya (alhamdulillaaah rejeki pengangguran).

Oke, sejujurnya cuma sedikit film garapan Joko Anwar yang berkesan dan nempel banget di otak gue, dan Perempuan Tanah Jahanam ini salah satunya. Sesuai judulnya, ini film emang JAHANAM  sih!

Bercerita tentang pencarian keluarga Maya/Rahayu yang ternyata menyimpan cerita yang menyeramkan. Keluarganya dituduh sebagai pembawa kutukan maut yang melanda sebuah desa terpencil di tengah hutan.

Sepuluh menit di awal masih menyenangkan, masih bisa ketawa-ketawa sama percakapan Maya dan sahabatnya (yang gue lupa  namanya, tapi diperankan sama Marissa Anita) yang relate banget sama obrolan sehari-hari.

Lima belas menit kemudan sampai 10 menit menjelang akhir film, jangankan ketawa, melek aja rasanya berat saking tegangnya.

Perempuan Tanah Jahanam membuktikan bahwa film horor nggak selalu harus bertabur setan untuk meneror penonton. PTJ bisa dibilang minim setan, makanya gue aman-aman aja nontonnya. Tapi,  bukan berarti lo nggak dibikin ketakutan.

Joko Anwar memberikan ketegangan yang konstan lewat adegan-adegan yang meneror. Jump scare pun ditata secara rapi, jadi penontonnya juga ngga kecapekan kaget sampe nggak takut lagi.

Joko Anwar juga cermat merawat ketegangan penonton dengan alur bercerita yang rapi. Pokonya mah jangan kasih kendor lah!

Momen ikonik yang gue inget malah ada di akhir film, di mana lagu gereja Joyful Joyful dijadikan background musik.  Seperti yang kita tahu, lagu tersebut adalah ungkapan kebahagiaan atas kelahiran Yesus sang Juru  Selamat. Penggunaan lagu tersebut sebagai background musik pas banget buat ngebangun emosi penonton terhadap adegan pamungkas film.

Buat yang doyan film gore penuh darah, lo pasti akan sedikit gemes sama film ini. Soalnya gore-nya kentang banget. Buktinya gue masih bisa nonton dengan santai-santai aja tiap adegan bacok-bacokan dan gorok-gorokan, padahal gue ngga kuat nonton gore.

Tapi, buat yang ngga kuat liat adegan berdarah, gue saranin bawa pashmina atau apapun yang bisa nutup mata biar tetep bisa nonton. Adegan berdarahnya ngga bertebaran sih, tapi mayan bikin ngilu pas nongol.

Bebas (rating: 7/10)




Film garapan Mira Lesmana ini adalah adaptasi dari film box office Korea Selatan tahun 2011 berjudul Sunny. Bercerita tentang geng masa SMA yang ngga sengaja reuni setelah berpisah kurang lebih 23 tahun lamanya. Di film aslinya, salah satu pemerannya adalah Kang Sora, aktris Korea yang subhanawloh cakepnya nampar banget!

Ini dia Kang Sora, yang jika berdiri di sebelahnya membuat gue merasa seperti Kang Sayur. Bahkan cakepan kang sayur sih kayanya
Selama ini selalu mikir cuma film-film komedi romantis aja yang bikin perut geli-geli kayak ada kupu-kupunya, ternyata enggak. Berlatar cerita tentang persahabatan, geng Bebas berhasil bikin gue mesem-mesem hampir nggak berhenti di sepanjang film.

Bebas nggak bisa gitu aja dibandingin sama film asli, Sunny. Keduanya sama-sama bagus, asik,seru dan mengena. Udah gitu dari jalan cerita sampe scene-nya juga sama persis. Cuma ada perbedaan di penokohan, konflik dan penyesuaian kultur aja.

Mungkin yang bikin Bebas jadi lebih seru karena kita ngerasa dekat dengan kulturnya dan kenal sama semua lagu-lagunya. Asli, sepanjang film bohong kalo nggak ikutan sing along. Yaa emang jadi semacam diingetin sih kalo kita udah tua wkwkwkwk

Saran, sebaiknya nonton film ini rame-rame bareng temen. Apalagi yang ngerti masa-masa kejayaan lagu Indonesia tahun 90-an. Biar bisa cekikikan dan sing along bareng.

Joker (rating: 15/10)




This movie is soooo good, it deserves my rare 15/10!

Pasti banyak yang setuju sih kalo film ini jadi salah satu film terbaik tahun 2019. Mulai dari cerita sampe ke aktingnya udah nggak usah dikomentarin lagi. BAGUS BANGAT! KAGAG BOONG!

Todd Phillips, sang sutradara, sangat apik mengemas kisah hidup Arthur Fleck yang muram dan gelap. Akting Joaquin Phoenix yang maksimal membuat gue curiga jangan-jangan dia bakal nerima Oscar tahun depan untuk kategori Best Actor nih.

Menurut artikel yang gue baca (tapi lupa baca di mana), demi stay in the character Phoenix bahkan  ngga mingle sama pemain lainnya dan tetap menyendiri di lokasi syuting. Iya, sampe segitunya. Semoga dia bisa total keluar dari karakter Joker biar mental health-nya baik-baik aja.

Gue nggak mau jadi mental health expert dadakan sih, cuma mau bilangin aja. Nonton film ini jangan sendirian, paling engga mesti ditemenin. Jangan nonton pas lagi sedih atau galau karena filmnya beneran suram, yang ada malah bikin nambah down.

Oiya, buat yang ngga suka lihat kekerasan, sebaiknya nggak nonton juga. Karena kekerasan di film ini nggak cuma fisik, tapi juga mental dan verbal. I warned you!

Midsommar (rating: 7/10)




Entah apa yang merasukiku, demen banget nonton film-film yg mengguncang mental kayak gini.

Kalo dibilang horor, film ini minim jump scare. Malah hampir ngga ada. Alih-alih takut, gue malah tertekan dan stress nontonnya. Bukan karena adegan-adegan mengerikan di dalamnya, tapi justru dari ceritanya sendiri yang sebenernya nyerempet ke mental health juga. Makanya gue nggak nyebut film ini horor, tapi psychological disturbing.

Dengan adegan semenyenangkan ini dan dipenuhi bunga-bunga, siapa sangka ternyata Midsommar film yang lumayan disturbing.

15-30 menit di awal film gue udah stres lihat Dani (tokoh utama) yg berkali2 mengalami mental breakdown setelah mengalami peristiwa menyedihkan di hidupnya.

Menurut gue, cerita tentang suku dengan ritual-ritual menyeramkan di film ini tuh cuma pelengkap aja. Inti ceritanya justru ada di perjalanan psikologis Dani melewati masa-kelam kelam di hidupnya. Mulai dari dia rapuh, ngerasa ditinggalin sampai akhirnya menemukan resolusi dari semua masalahnya.

Kelar nonton rasanya pengen bilang ke sutradaranya "Mas Ari, semoga kamu ngga patah hati lagi yah". Soalnya menurut beberapa artikel yg gue baca (yang lupa lagi di mana), Ari Aster (sutradaranya), terinspirasi bikin cerita ini waktu patah hati setelah putus dengan pacarnya. 

Sama seperti Joker, jangan nonton film ini ketika sedang sedih atau galau. Bakal ngerasa makin sedih nanti. Apalagi tokoh utama dibuat sangat relate dengan orang biasa yaitu dengan dandanan sampe wardrobe yang bener-bener biasa banget (bagian ini gue salut, gila sampe sedetail itu).

PS: Gue kasih rating segitu karena nontonnya yang versi di bioskop, yang sensornya sampe 9 menit sendiri. Kelar nonton berasa kentang aja gitu, sampe akhirnya ngulik-ngulik sendiri di yutup demi penjelasannya.

It 2 (rating: 8/10)



Ini film yang udah gue tungguin banget dari tahun kemarin. Sekali lagi, buat gue ini bukan horor karena setannya ngga nyeremin juga wkwkwkwk.

Film hasil reboot dari film berjudul sama produksi tahun 1990 ini bercerita tentang badut iblis bernama Pennywise yang setiap 27 tahun sekali menghantui kota Derry, Maine. Setelah bertahun-tahun berhasil memangsa warga kota, akhirnya Pennywise menemukan lawannya yaitu sekelompok remaja underdog yang menamakan gengnya The Losers.

Film kedua ini adalah lanjutan dari film pertamanya. Jadi biar ngerti cerita awalnya, yaa harus banget nonton yang pertamanya dulu.

Setelah berpisah selama 27 tahun, sesuai janji The Losers harus kembali bertemu di Derry, Maine. Kali ini bukan untuk reuni, tapi untuk memusnahkan Pennywise.

Pengenalan tokoh-tokoh anggota The Losers setelah dewasa buat gue sangat dragging dan lama-lama membosankan. Tapi dimaafkan dengan kecerdasan dari tim casting yang sempurna banget memilih cast versi dewasa yang mirip banget sama cast versi remajanya. Berkali-kali dibikin kagum dengan kemiripannya.

Meskipun alur berceritanya agak bertele-tele dan pelan, tapi ending dari film ini sangat bermakna. It seperti memberitahu kita bahwa betapa nyali dan kepercayaan diri sangat mudah dihancurkan hanya dengan kata-kata jahat.

Jadi sebenernya It adalah film tentang bullies yang disampaikan secara metaforik. Abis nonton ini jadi penasaran mau baca bukunya.


Pretty Boys (3/10)




Nonton film ini ku jadi ngerti bahwa 60 menit adalah durasi yang pas untuk tonight show.

Bercerita tentang perjalanan 2 sahabat, Anugerah dan Rahmat (Vincent dan Desta) menggapai mimpinya untuk jadi seorang artis. Atau lebih tepatnya komedian.

Nonton film ini tuh beneran berasa lagi nonton tonight show dengan durasi lebih lama. Daddy jokes bertebaran di mana-mana. Awal-awal emang lucu, tapi lama-lama ketebak dan membosankan. Pola jokesnya hampir sama semua.

Satu hal lagi yang paling mengganggu, film ini cukup seksis. Diperjelas dengan kalimat "kayak perempuan aja deh lo" tiap ada adegan di mana tokoh laki-laki ngambek atau nggak setuju akan sesuatu. Sedihnya kalimat tersebut juga diucapkan oleh perempuan. 

Kalo maksud film ini adalah menyindir betapa busuknya industri pertelevisian Indonesia, maka film ini sangat sukses. Tapi sayangnya terlalu banyak scene yang mendiskreditkan transpuan atau waria.

Tenang, film ini nggak sepenuhnya jelek kok. Banyakk shot-shot cantik ada di film ini. Mungkin salah satu alasannya karena sutradara (Tompi) adalah juga seorang fotografer. Jadi shot yang diambil seperti dalam foto. Salut sama Tompi soal gambar, tapi dari segi cerita, konflik dan jokes, monmaap film ini masih berantakan (jika kata hancur dirasa terlalu kasar).

Oiya ada satu lagi, penyebutan Tompi sebagai dokter bedah andalan yang lebih beberapa kali ada dalam dialog ganggu banget. Yaa kita udah sama-sama tau kan kalo Tompi adalah seorang doket bedah plastik yang multi talenta. Kesannya jadi slot iklan yang ceritanya pengen dialusin tapi tetep aja keliatan maksa.

Gundala (rating: 7/10)



Sejujurnya nggak banyak yang gue ingat dari film ini selain Abimana yang subhanawloh ganteng banget sampe bikin lupa warga negara.

Tapi sebagai film superhero Indonesia pertama yang gue tonton, Gundala ini cukup menjanjikan. Bikin berharap semoga Bumi Langit Cinematic Universe (BUCIN) beneran berjalan lancar macem MCU.

Gue sempet bosen di awal film karena cukup dragging dan kelamaan. Mungkin maksudnya untuk membangun cerita dan latar belakang Sancaka yang ternyata njlimet. Di bagian ini juga ternyata ada tokoh yang nantinya akan jadi sekutu dari Gundala, salah satu anggota Patriot. Ini gue taunya setelah kelar nonton dan jadi iseng ngulik-ngulik tokoh-tokoh superhero Bucin.

Sri Asih di akhir film keren banget sih, bikin pengen cepet-cepet taun depan biar cepet-cepet dibikin trus bisa nonton deh!

Segitu dulu aja deh list nonton gue 2 bulan ini. Kalo misalnya ada yang ngajakin nonton lagi, gue update deh ya. Semoga ngga males juga 😁

See you on next post!

August 25, 2019

Tentang Takut.

Sejak sering kecewa bahkan sama harapan sendiri, saya nggak pernah benar-benar menginginkan sesuatu. Saya nggak pernah benar-benar berusaha untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya terlalu takut kecewa. Sampai akhirnya saya punya tekad yang bulat untuk jalan-jalan ke Korea tahun depan.

Buat beberapa orang, mungkin cita-cita saya sangat sepele. Traveling ke negara yang terkenal dengan operasi plastik dan idol Kpop penjaja mimpi. Tapi buat saya ini adalah pembuktian. Pembuktian bahwa akhirnya ada yang benar-benar saya perjuangkan.

Segala cara yang saya tau, saya lakukan. Mulai dari awal tahun saya benar-benar ngirit demi beli tiket. Saya mengurangi main saat weekend, bahkan saya pelan-pelan stop datang ke konser. Semua dilakukan demi ngirit.

Tapi kemudian, ketakutan itu datang lagi. Saya benar-benar takut apa yang sudah diperjuangkan harus kandas di menit-menit terakhir ia terwujud.

Mungkin, karena saya terbiasa untuk bersiap akan hal terburuk dari rencana saya maka ketika rencana berjalan baik-baik saja, saya jadi terlalu takut menjalaninya. Entah.

Mungkin ini waktunya untuk pasrah dan meyakinkan diri bahwa kutipan Paulo Coelho itu benar adanya, “When you really want something, the whole universe conspires in helping you to achieve it”

Amin. Mestakung!

May 17, 2019

Cimeng.

Entah apa yang dialami oleh Cimeng sebelum datang ke rumah, sampai dia melakukan segala cara demi bisa dipelihara.

Siang itu matahari cukup terik. Seperti kucing liar lainnya, Cimeng datang ke rumah. Kelaparan, minta makan. Tubuhnya kurus sekali, bobotnya bahkan lebih ringan dari si Unyil yang waktu itu masih berusia sekitar 4 bulan.

Tidak seperti kucing liar yg lain, setelah kenyang Cimeng nggak mau pergi. Dia menetap di terah rumah, menolak diusir. Waktu itu saya berjanji, nggak mau nambah kucing lagi di rumah. Selain karena masih merasa bersalah dengan kucing yang hilang, pertimbangan lainnya adalah saya kuatir gaji saya tidak bisa menutupi biaya makan piaraan yang waktu itu jumlahnya 4 ekor.

Tapi, Cimeng seperti memohon untuk dipelihara. Dia sangat penurut, bahkan selalu nyaut ketika diajak ngomong. Sekali waktu Babab pernah berniat buang Cimeng ke lapangan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumah. Naik motor, Cimeng diangkut menggunakan kardus. Tiba di lokasi pembuangan, Cimeng tetap bergeming. Tidak selangkah pun dia keluar dari kardus. Wajahnya yang polos gemas bikin Babab nggak tega. Akhirnya, Cimeng pulang lagi.

Awal-awal Cimeng sempat sangat merepotkan. Eek sembarangan, tak tau aturan. Padahal bak pasir sudah disediakan, kalau kebelet ya tinggal ngeden doang. Tapi Cimeng sepertinya belum kenal konsep eek di bak pasir. Wajar, namanya juga dulu tinggalnya di jalanan yang kalau kebelet beneran tinggal ngeden sesukanya di mana pun.

Cimeng sempat berkali-kali diancam mau dibuang sama Ibu. Wajar juga, waktu pertama punya kucing juga Ibu marah-marah melulu. Berkali-kali mengancam buang kucing kalau pipis eek sembarangan yang sekarang malah paling manjain piaraan.

Karena kelakuannya, Cimeng harus menjalani masa orientasi di rumah. Dia hanya boleh tinggal di teras saja. Tidak diizinkan masuk rumah, walaupun sebatas ruang depan pintu. Ini harus saya lakukan, daripada memaksa Cimeng tinggal di dalam rumah yang berisiko dia dibuang oleh Ibu yang masih emosi karena kelakuannya yang suka buang hajat sembarangan.

Sebulan berselang, hati Ibu mulai luluh. Muka Cimeng yang menggemaskan dan kebiasaannya celentang pamer perut mengalahkan emosi Ibu. Akhirnya Cimeng boleh tinggal di dalam rumah bersama saudaranya yang lain meskipun harus denger Ibu merajuk soal rumah yang bau taik kucing hampir tiap hari (padahal ngga ada taik kucing sama sekali).

NGOAHAHAHAHAAA AKHIRNYA MASUK RUMAAH!!!

Saking senangnya dibolehin tinggal di dalam rumah, Cimeng nggak berani main keluar. Setiap dia main kejar-kejaran dengan kucing saya yang lain, Cimeng selalu berhenti di pintu depan. Sepertinya dia takut jika keluar selangkah saja dia nggak boleh balik lagi masuk ke rumah. Akhirnya, dia hanya berani duduk di depan pintu saja, sambil menatap keluar dengan nanar, menyimpan keinginan dalam-dalam untuk lari-larian di jalan.

Kesibukan sehari-hari: goleran dengan berbagai macam gaya dan posisi. 
Sekarang, sudah sekitar 5 bulan Cimeng ada di rumah. Udah yakin kalau dirinya diterima dengan sungguh-sungguh di rumah. Sekarang, badannya udah berat. Perutnya udah mlendung bulat akibat makan yang ngga berhenti-berhenti. Di antara ke-5 kucing saya, Cimeng pegang peranan penting, yaitu menghabiskan dryfood yang tersisa di mangkok siapapun.

Kesibukannya masih sama, kalau lagi ngga lari-larian di jalanan ngejar kupu-kupu, berarti lagi goleran ke sana kemari sambil pasang muka imut menggemaskan. Eh, kalau yang itu sih kayaknya udah default, nggak bisa diganti.

Nih, buktinya!

Muka berbahaya.



May 12, 2019

Mengasah Empati lewat 27 Steps of May

Film bukan hanya soal hiburan saja. Film juga bisa jadi alat tepat untuk propaganda, karena dianggap sebagai media yang paling mudah mempengaruhi seseorang. Nggak percaya? Coba ingat-ingat lagi bagaimana dulu, di tahun 90-an, ketika Pak Harto masih berkuasa, seluruh televisi di Indonesia WAJIB menayangkan film G30S/PKI di tanggal 30 September setiap tahunnya. Dan lihat hasilnya pada pendapat beberapa orang saat ini tentang peristiwa tersebut.

Film juga bisa dijadikan wadah untuk menyampaikan keresahan atas isu-isu tertentu yang terkadang masih tabu dan jarang diperbincangkan, contohnya bisa kita lihat pada film 27 Steps of May.

Cerita berawal dengan May yang sedang dengan gembira bermain di pasar malam, hingga sebuah tragedi mengubah senyumnya. May diculik dan diperkosa. Setelah itu hidup May tidak lagi sama. May yang dulu periang, kini berubah diam dan menolak perubahan. Selama 8 tahun, May sengaja berlindung dibalik rutinitas dan menolak keluar kamar. Kesehariannya berjalan dengan rangkaian kegiatan yang sama: bangun tidur, menyetrika baju dengan teliti hingga licin, menghias boneka, makan makanan hambar dan diakhiri dengan lompat tali di dalam kamar hingga lelah kemudian tidur. Sedikit saja ada yang berbeda dari rutinitasnya, May akan tantrum dan menyilet pergelangan tangannya. May terluka, jiwa dan raga.

Luka juga dirasakan oleh Bapak. Selama 8 tahun dia memendam perasaan bersalah dengan manjadi petarung yang buas. Setiap May menyilet pergelangan tangannya, Bapak melampiaskan kemarahannya di atas ring. Tiap hantaman lawan yang mendarat di wajahnya seolah adalah penebus perasaan bersalahnya atas kegagalannya menjaga putri semata wayangnya.

Ketakutan May akan dunia luar setelah peristiwa yang menimpanya, membuat May mengurung diri di kamar. Bahkan ketika terjadi kebakaran di sekitar rumahnya, May harus digeret Bapak untuk keluar yang berujung pada May kembali menggoreskan silet ke pergelangan tangannya karena tantrum.

27 Steps of May memang santer menyuarakan luka yang dialami oleh korban kekerasan seksual dan keluarganya. Cerita yang disampaikan dan akting para pemainnya sangat nyata menggambarkan apa yang sering dialami korban kekerasan seksual.

30 menit terakhir adalah bagian kunci dari film ini. Saya bahkan sempat menangis terisak melihat May yang mengalami panic attack karena kembali mengingat potongan-potongan kejadian kelam itu. Bahkan, saya pernah mendengar cerita seorang penyitas yang menonton film ini sempat terisak hebat karena merasa relate dengan apa yang dia alami dulu.

Korban kekerasan seksual di Indonesia memang sering diabaikan, terlebih lagi pasal di KUHP yang serba bias membuat korban tidak mendapatkan jaminan keamanan dan rehabilitasi. Malah seringnya, alih-alih dibela korban justru disalahkan dan dituduh ambil bagian dalam kejadian.

Budaya patriarki yang cenderung menyalahkan koraban ikut menjadi salah satu penyebab mengapa banyak korban kekerasan seksual menjadi bungkam. Mereka takut akan sangsi sosial berupa hinaan dan cibiran dari masyarakat dan memilih diam meskipun jiwanya mati perlahan.

Film ini juga memberikan pencerahan bahwa tindakan kekerasan seksual tidak hanya membawa luka pada korban, tapi juga pada kerabat terdekat korban. Jadi, kekerasan seksual bisa dibilang membawa dampak kehancuran yang cukup masih dan seharusnya tidak dianggap sepele.

Semoga dengan adanya film ini, pemahaman kita terhadap korban kekerasan seksual dan keluarganya menjadi lebih terbuka. Semoga tidak ada lagi korban yang harus menanggung beban sosial yang salah tempat. Semoga tidak ada May-May lain yang harus bungkam bertahun-tahun.

April 5, 2019

Jadi korban body shaming? Santai aja kali.

Belakangan ini, topik body shaming mulai marak di sosmed. Banyak dari influencer dan selebgram mengampanyekan stop body shaming, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Trus body shaming itu apa sih? 

Body shaming adalah bentuk dari verbal bullying. Biasanya yang dijadikan objek bully adalah orang-orang dengan bentuk tubuh (yang dianggap) di luar standar yang dibilang normal atau ideal. Contohnya, kurus, ceking, cungkring, gendut, gembrot, babon, dll. 

Sama seperti bentuk bullying lainnya, body shaming ini bawa akibat yang sangat merusak. Akibatnya nggak main-main, lho. Udah banyak korban yang mengalami ganggunan makan karena dibilang gendut banget atau terlalu kurus, ada juga yang berasa ngga berguna karena kepercayaan dirinya dimatikan oleh komen-komen jahat pelaku body shaming, yang paling ekstrem mungkin bisa berujung bunuh diri. Gawat ya? Ya emang! Di mana-mana, bullying itu memang berbahaya.

Makanya, saya seneng banget ketika banyak influencer yang mulai sadar dan mengampanykan stop body shaming. Tapi, ada satu nih yang bikin gemes. Influencer yang mulai marah-marah ketika dapet komen (yang dianggap) body shaming di DM Instagramnya. I mean, come on, man! I know body shaming is very bad, tapi dengan marah-marah apakah akan menyelesaikan masalah? Apakah pelaku akan mengerti bahwa yang dia lakukan itu salah? Bisa jadi dia ngga tau kalo dia sedang berbuat bodoh dan kejam. So, buat kalian semua yang masih ngamuk-ngamuk pas dapet komen sejenis "ih, kok kamu gendutan sih?", sini saya bilangin sesuatu deh.

Buat saya, orang yang melakukan hal tercela itu kemungkinannya cuma 2: dia emang beneran tercela atau dia ngga tau sama sekali. Apalagi dengan kultur Indonesia di mana becandaan bentuk tubuh atau umur adalah hal yang wajar untuk membuka percakapan. Jadi, pastinya banyak yang nggak ngerti kalo komen kayak begitu tuh sebenernya menyakiti lawan bicaranya.

If you are really concern about body shaming, and really want to educate people to stop doing it, pulling a rage over someone whose doing body shaming is not a solution. Ujung-ujungnya malah dibilang baperan dan over sensitif. Alih-alih pesanmu tersampaikan, malah jadi nambah sakit hati kan? Udah dibilang gendut, ditambahin baperan pulak! Kesannya jadi kayak ngga ada bagus-bagusnya gitu.

Trus gimana caranya biar pada berhenti?

Let me tell you something, body shaming can never be stop. You can never tell people to say nice things to you all the time. 

Orang-orang dengan komentar menyakitkan itu tidak akan pernah hilang dan akan selalu ada. Seberapapun kamu teriak-teriak marahin mereka. So, toughen up! Try to ignore those people and their comments. Biasanya yang dicari klompencapir (kelompok penghina dan pencibir) itu memang reaksi kita. Semakin kita bereaksi, semakin meraka menganggap tindakan mereka benar. 

Learn to love yourself completely, sampai komentar apapun tentang tubuhmu nggak ngeganggu emosimu sama sekali. Kalo komentar secuil aja bikin kamu sedih atau marah, than you're not loving yourself enough.

Saya pun masih belajar mencintai diri sendiri, yang ternyata susah banget. Tapi setidaknya, sekarang saya lebih santai ngadepin komen body shaming. Kalo dibilang gendutan, di iyain aja. Ya emang gendut, trus kenapa? Kalo disuruhin kurusin dikit biar cantik, bales aja "kalo cantik mah cantik aja, mau gendut kek, kurus kek, ngga ngaruh." Sejauh pengalaman saya sih cukup mempan nutup mulut-mulut comberan itu.

Focus on what you are doing. Kalo kamu fokus akan seusuatu, percaya deh komen-komen kayak gitu tuh jadi nggak penting lagi. Karena yang penting adalah apa yang ingin kamu lakukan atau ingin kamu raih. 

In order to love yourself, you have to value yourself. Don't lower your value by answering those comments. Asli deh, ga ada gunanya marah-marahin orang. Malah jadi kepikiran ngga sih? Tadinya udah mau berhasil self love, jadi gagal lagi karena ngerespon satu komen aja. Dengan kita nyaman terhadap kondisi tubuh dan pede-pede aja, yakin deh komen-komen ngga penting itu pelah-pelan akan berkurang. Ngga akan hilang sepenuhnya sih, tapi perlahan berkurang. Kalo kita nyaman dan selow-selow aja, orang juga lama-lama akan sungkan untuk kasih komentar negatif. Kalo pun masih ada, yaa anggep aja meraka sirik, ngiri karena ngga bisa se-pede kita.

Percaya deh, dengan kita fokus ke diri sendiri dan tidak bereaksi sama sekali dengan komen-komen body shaming akan mempermudah proses kita dalam mencintai diri sendiri.

Terakhir, khusus buat yang dibilang gendut, it's oke if you want to change. Diet dan olahraga biar kurus boleh banget, tapi lakukan atas kemauan diri sendiri. Bukan demi orang lain atau demi apapun. Karena, kalo datangnya bukan dari motivasi diri sendiri, seringnya bikin kecewa dan malah makin merusak.

Yasudah, segitu aja curahan kegemasan saya untuk influencer-influencer yang kenceng banget ngomongin self love tapi dapet komen body shaming dikit langsung ngamuk-ngamuk. Ngga usah gitu lah. Populasi SJW di Indonesia udah banyak, jadi ngga usahlah berpartisipasi nambahin jumlah populasinya.

Santai aja kaleeeee~

March 7, 2019

Leadership Workshop Akber: Bukan Workshop Biasa

Ada hal menarik yang saya dapat dari mengikuti leadership workshop Akber minggu lalu. Bahwa untuk belajar, tidak hanya kerendahan hati yang diperlukan, tapi juga pikiran yang bersih dari ekspektasi.

Sejak gabung tahun 2013 lalu, hampir tidak ada workshop Akber yang absen saya ikuti, baik sebagai peserta maupun sebagai panitia. Selain berkumpul dan bertemu dengan relawan dari seluruh Indonesia, workshop ini juga bertujuan untuk membekali kami  membangun Akber di kota masing-masing agar terus berkembang dan membawa manfaat bagi banyak orang. Bisa dibilang, workshop Akber menjadi semacam ‘kemewahan’ bagi relawan karena mentor-mentornya yang keren.

Tapi, ada yang berbeda di workshop yang saya ikuti 2 minggu lalu. Saya tidak merasakan kegembiraan ataupun semangat yang sama yang biasanya saya rasakan ketika hari workshop makin dekat. Beberapa bulan ini saya memang sedang kehilangan semangat untuk kembali bekerja dan belajar di Akber. Kegiatan yang dirasa dulu sangat menyenangkan, kini dirasa sungguh membosankan dan seperti jalan di tempat, tak ada kemajuan. Mungkin salah satu pemicunya karean saya yang merasa gagal membuat perubahan atau setidaknya sedikit kemajuan selama hampir 6 tahun di Akber dan 3 tahun menjadi kepsek, padahal udah bolak balik ikut workshop. Bahkan waktu itu saya sempat mempertimbangkan untuk berhenti sejenak dari Akber.

Bertemu dengan relawan dari berbagai kota di Indonesia pun tidak lagi menjadi hal yang istimewa bagi saya. Padahal biasanya, saya selalu bersemangat jika bertemu orang baru. Iya, saya seperti tidak mengenal siapa saya. Saya yang dikenal seperti sedang cuti liburan yang entah kapan baliknya.

Dengan perasaan yang serba ngga jelas tadi, saya tetap datang ke workshop. Semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab, bukan lagi sebagai kebutuhan. Saya mulai merasa mendatangi event Akber bukan lagi menjadi sebuah keharusan.

Akhirnya, workshop pun dimulai.

Materi demi materi saya ikuti. Mungkin karena tidak terlalu banyak peserta, saya jadi lebih fokus dengan materi yang disampaikan mentor. Makin lama, saya makin tertarik. Semangat yang tadinya mulai memudar, perlahan kembali. Supply semangat pun saya dapatkan dari cerita relawan yang berupa keluhan. Dari cerita mereka saya jadi tau, bahwa saya tida sendiri. Yang sedang berpikir untuk menyerah tidak cuma saya sendiri. Yang memiliki masalah denga kota dan relawannya bukan hanya saya sendiri. Walaupun dibumbui dengan cerita julid sedikit, kami saling menguatkan. Bertukar pikiran serta memberi saran bersama untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

Gelas saya yang tadi hampir kosong, perlahan-lahan penuh dengan cerita-cerita dan pelajaran-pelajaran baru yang siap dipraktekkan. Dari sini saya pun belajar:

1. bahwa di zaman yang serba digital ini ternyata bertemu langsung masih sangat diperlukan. Walaupun bisa ngobrol melalui chat atau video call, tentu rasanya berbeda ketika bertemu. Tukar cerita jadi lebih jelas, bercanda pun jadi lebih lancar.

2. bahwa jangan pernah merasa masalahmu adalah yang tersulit. Ada orang lain yang memiliki masalah yang bisa jadi jaaaauuuh lebih sulit lagi.

3. bahwa membersihkan pikiran dari segala ekspektasi adalah salah satu cara ampuh untuk belajar. Pikiran yang bebas dari ekspektasi akan mematikan suara-suara kecewa yang sering membuat kita menolak ilmu baru yang masuk.

Lalu, apakah saya menyesal pernah berpikir untuk meninggalkan Akber? Enggak dong! Karena dari pikiran tersebut justru saya mendapat jawaban untuk tetap bekerja dan menjadi relawan Akber setidaknya untuk sekarang atau bahkan bertahun-tahun kemudian.

December 9, 2017

#ripiuicha: The Baddass Bish Named MARLINA.

Setelah berkeliling ke berbagai festival film di dunia, akhirnya Marlina mendarat juga di bioskop Indonesia. Film ini awalnya diberi judul ‘Perempuan’ oleh pemilik ide ceritanya, Garin Nugroho. Lalu diubah menjadi ‘Marlina, Si Pembunuh Dalam Empat Babak’ oleh sang sutradara, Mouly Surya.
Saya udah penasaran banget pengen nonton ini sejak nonton trailer-nya di yutup Mei lalu. Selain music scoring-nya  yang catchy, dari trailernya aja udah ketauan kalo film ini bakalan punya penataan sinematografi yang apik. Belum lagi ceritanya yang cukup unik, tentang perempuan yang nenteng-nenteng kepala manusia sambil naik kuda. Udah gitu nyantai pulak dia, padahal orang yang ngeliat udah pada ketakutan.

Okede, biar makin penasaran, saya kasih sedikit sinopsisnya yaa.

Jadi, Marlina ini adalah seorang janda yang baru aja ditinggal mati suaminya. Suatu hari, dia didatangi oleh komplotan perampok yang ingin menjarah harta bendanya (yaiyalah, namanya juga perampok. Kalo ngajakin senam poco-poco namanya bubibu PKK). Yang bikin ngeselin, perampok ini ngga cuma mau ngerampok tapi juga ngancem untuk memperkosa Marlina. Sampe sini, kebayang ngga gimana takutnya Marlina sebagai perempuan yang hidup di tengah sabana luas dan harus menghadapi 7 orang perampok SENDIRIAN? Kabur? Ngga mungkin. Dia tinggal di area jin buang anak, jauh dari mana-mana. Pilihannya cuma 2: ngelawan atau pasrah dirampok dan di-gang bang 7 orang. Sudah jelas, Marlina memilih untuk melawan dengan segala cara yang dia bisa. Gimana cara ngelawannya? Ya, nonton filmnya dong aah~

Ngga perlu banyak alasan untuk nonton film ini, cukup nonton trailer-nya. Dari situ aja saya udah ngerti banget kalo film ini bakalan mengeksploitasi abis-abisan (in a good way) cantiknya alam Sumba lewat penataan sinematografi yang artistik. Dan bener aja, pas nonton saya ngga habis-habsnya melongo karena kagum liat Sumba yang cantiiiiiiik banget. Mouly Surya pinter banget bikin kontur alam Sumba yang khas dengan sabana berwarna keemasan untuk menjadikannya layer antar babak. Banyaknya scene yang diambil secara statis seperti ngajak penonton untuk sejenak menghayati keindahan Sumba, dan gimana serba terbatasnya kehidupan di sana. Oh, ngga cuma kecantikan alamnya aja. Kita juga diajak mempelajari budaya khas Sumba dari wardrobe yang digunakan tiap pemain, mengunyah sirih dan budaya membungkus mayat keluarga di Sumba.

Alur cerita yang disampaikan per babak membuat cerita mudah dimengerti. Premisnya disampaikan di awal tiap babak, jadi penonton cukup membayangkan bagaimana premis ini akan disampaikan menjadi beberapa adegan dan percakapan. Meskipun begitu, ending dari film ini tetap ngga mudah ditebak. Awalnya saya pikir si Marlina ini akan ganti profesi jadi ketua perampok, menggantikan orang yang dia penggal kepalanya. Ternyata nggak. Endingnya jauh meleset dari tebakan saya (atau emang sayanya aja yang bloon nebak film haha).

Sekilas film ini gayanya mirip Kill Bill. Mulai dari premis yang dijadikan judul di tiap babak sampai ke music scoring yang mengingatkan dengan film-film koboy. Tapi, itu ngga bikin film ini jadi buruk, malah jadi hawa baru di tengah perfilman Indonesia yang kebanyakan cari tema yang aman-aman aja.
 
Oh, jangan lupakan akting yang diperankan oleh aktris dan aktornya. SUPERB BANGET! Entah berapa lama aktor dan aktris ini mempelajari logat Sumba sampe fasih kayak gitu. Kalo nonton sambil ditutup matanya (egimana?) pasti kita nyangka itu yang ngomong orang Sumba beneran saking fasihnya. Marsha Timothy juga sukses banget memerankan perempuan Sumba yang sederhana tapi kuat dan tangguh. Ngga heran dia berhasil mengalahkan Nicole Kidman jadi aktris terbaik di Sitges International Fantastic Film Festival.

Karakter-karakter yang ada di film ini juga sangat kuat. Dari awal nonton, saya udah kebawa emosi dengan kelakuan komplotan rampok yang emang pada minta digorok lehernya. Ada juga karakter seorang ibu yang dibawakan secara natural dan khas ibu-ibu yang suka kasih tips yang ajaib. Semua karakter dimainkan sesuai dengan porsinya, ngga berlebihan tapi ngga kekurangan.

Overall, Marlina saya kasih rating 5/5. Iya, segitu bagusnya sampe dikasih rating pol begitu. Ngga cuma bagus secara teknis, isu yang diangkat film ini juga penting banget untuk diketahui dan dibahas sama-sama. Tentang bagaimana perempuan sering direndahkan tempatnya, dianggap makhluk lemah tak berdaya sehingga wajar aja dipermainkan dan diancam seenaknya. Udah bukan rahasia umum lagi kalo perempuan korban perkosaan sering kali justru disalahkan dan digampangkan kasusnya.

Banyak yang bilang film ini terasa sangat feminis, tapi buat saya Marlina ini bercerita tentang perempuan-perempuan sederhana yang hanya tahu bahwa mereka diperlakukan tidak adil dan memperjuangkan haknya. Oh, bagian paling menariknya (lagi) adalah meskipun Marlina tidak merasa berdosa membunuh perampok yang memperkosanya, dia tetap dihantui perasaan bersalah. Ini menunjukkan bahwa meskipun terlihat tangguh dan fearless, Marlina juga masih memiliki soft spot khas perempuan biasa (atau manusia pada umumnya).

Masih ngga percaya dengan review yang saya tulis? Silakan monggo tonton sendiri filmnya, kayaknya masih anteng tuh nangkring di bioskop-bioskop kesayangan Anda.

Ingat ya, pemirsa. Jangan bawa adik, anak, ponakan atau sepupu yang masih kecil di bawah umur untuk nonton film ini. Selain bakalan ganggu kalo ntar mereka bosen dan nangis, film ini juga terlalu brutal untuk mereka. Kasian, ntar jadi pada ngga doyan makan. Kalo ngga punya temen nonton, udah nonton sendiri aja ga papa. Ngga bakal ada yang tau juga kalo kalian ngga kasih tau.

Scene favorit. Baddass bish banget mukenya. Gambar nyomot dari sini